|
gotong royong - courtesy by google.co.id (ga punya foto waktu kerja bakti, jd cr gambar di google, hheh) |
Alhamdulillah, setelah rehat beberapa jam akhirnya tulisan ini selesai juga dibuat. Sebenarnya akan lebih tepat jika saya bilang ini sebuah catatan. Catatan tentang pengalaman saya selama satu hari diterjunkan ke merapi. Kami berduabelas termasuk saya, ikut dalam tim relawan HTI Tanggap Merapi. Awalnya tugas yang dibebankan pada kami hanya pergi ke dusun Plupuh kecamatan Cangkringan untuk membantu warga bekerja bakti membersihkan jalan dusun dari bekas bekas abu dan hujan lumpur. Tapi selama perjalanan itu saya mendapat banyak pelajaran.. Subhanallah. Ah, saya masih menikmati kesan perjalan minggu pagi kemarin hingga saat saya menulis catatan kecil ini, ditemani senandung Ian Sek Sen Se Lien besutan Kitaro. Pagi buta..selesai subuh tadi.
***
Sabtu, 19 Desember, kami ber-duabelas berkumpul di GOR Meguwoharjo, tempat pengungsian yang sampai saat ini masih menampung sedikitnya 2000an pengungsi, sekaligus posko tempat saya biasa berjaga tiap minggunya. Tepatnya di mushola dadakan Al-Iman. Malam itu malam sebelum penerjunan, kami dibekali training oleh trainer ustadz Rahmad (yg sy kenal sebelumnya beliau dari Spiritual Leadership bersama ustadz Cahyo) yang beberapa kali sudah mentraining saya. Walau begitu, tetap saja selalu memikat. Materi kali itu tentang Standar Hidup Manusia. Beliau menjelaskan dengan sangat menarik dan membuat peserta manggut-manggut dengan berbagai permisala beliau. Tidak terlalu banyak tawa, tapi selalu membuat saya tersenyum faham tiap kali beliau menjelaskan dengan caranya. Standar Hidup Manusia, selama ini ternyata hablur dan buram di masyarakat. Betapa tidak? Syariat yang merupakan panduan dari Pencipta manusia telah dikesampingkan ketimbang nilai-nilai asing buatan manusia itu sendiri yang sejatinya justru membawa masyarakat Indonesia, dunia, dan umat Islam khususnya pada kerusakan tatanan kehidupan dan moral. Pasti anda akan setuju dengan saya ketika telah menyadarinya. Ingin saya membahas tentang hal ini, tetapi mungkin bukan sekarang. Bukan di catatan ini.
Minggu pagi, 20 Desember, setelah kami selesai menunaikan sholat subuh berjamaah, kami lanjutkan dengan diskusi kecil. Tentang banyak hal, yang remeh sampai yang serius. Paginya, sekitar pukul 06.12 usai sarapan pagi, Akh Surur, koordinartor kami dari Posko gegas menuju mushola Al Iman tempat kami berada… “eh! Kirain saya kalian sedang persiapan ato olahraga, saya tungguin di posko kok lama beneer ga dateng-dateng, ga taunya pada leyeh leyehan…ayooh cepetan, sudah
ditunggu warga!!”.
Kami terlambat ke lokasi, warga dusun Plupuh rupanya telah lebih dulu kerja bakti. Kami bergegas menuju lokasi. Sesampainya disana kami disambut hangat warga desa, dan kami jadi malu akan keterlambatan kami. Haduuh. Kerja bakti dimulai. Ada yang nyangkul, ngarit, nyapu jalan, yang main, dan ada yang cuma mlongo ngliatin. Kekompakan warga desa, yang mebuat kesan di hati saya, adalah ketika ditengah-tengah kerja bakti kami dan para bapak, tiba tiba dari dalam dusun, para ibu, anak-anak gadis, laki-laki remaja dan anak anak kecil seketika menghambur dengan kami. Membantu beramai-ramai menyapu cangkulan-cangkulan tanah kami yang berserak…anak anak gadis tanpa canggung turun membantu saya dan yang lain menyapu bekas cangkulan (saya kebagian nyangkul waktu itu).
Jumlahnya banyak, begitu banyak. Maha Indah Allah yang menampakan semua rasa kekeluargaan itu. Saya nyaman berada ditengah tengah mereka, meski sedikit canggung. Pagi itu, kami semua dipeluk sejuk udara Merapi…dan kami bahagia menikmati di antara rimbun pepohon. Oh..andai di kampung saya seperti itu..hihi..
Setelah selesai, saya dan Akh Surur ngobrol ringan berdua sambil menunggu teman-teman relawan yang lain bergabung bersama kami. Dari obrolan itu saya belajar, sebenarnya perilaku warga desa di Jawa sebagai sebuah keluarga sekaligus tim dapat dibaca dari cara mereka bekerja bakti. Mereka umumnya hangat dan saling mengormati satu sama lain. Kekompakan mereka ditunjukan lewat kepedulian mereka meringankan beban bersama-sama. Pengikatnya adalah komunikasi verbal disertai canda tawa. Meski tak jarang, terlihat kentara ketika di antara mereka ada ketidaksukaan karena sesatu, biasanya masalah lahan. Diluar itu, sayangnya menejemen mereka lemah. Tidak ada koordinasi. Tidak ada pembagian tugas. Yang penting mereka tau apa yang mau dikerjakan, lalu dikerjakan. Sampah tidak dikumpulkan di satu tempat lalu dibuang ditempat yang direncankan melainkan hanya disapu ketepian supaya jalan terlihat beres. Belum rapih.
Oh iya, mereka yang sudah sepuh justru memiliki semangat yang lebih tinggi dari yang lain meski berbanding terbalik dengan tenaga mereka. Saya senang kalau melihat beliau-beliau berbicara dengan semangat pada kami seolah kami cucunya sendiri. Suwun nggih mbah..hehe.
Lepas tugas kami dari dusun Plupuh, setelah sebelumnya kami dijamu makan oleh kepala dusun, kami melanjutkan perjalan ke daerah lokasi wedhus gembel di wilayah Umbul Hardjo.
Sepanjang perjalanan, satu yang bisa saya ceritakan. Macet. Semua orang bergilir naik turun merapi. Tapi anehnya, mereka adalah Avansa, Honda Jazz, Land Rover dan motor motor berpenumpang muda mudi, bapak-ibu-anak lengkap dengan kacamata artisnya…ada apakah gerangan??…mencurigakan!
Kami melewati shelter Janggalan, tempat dimana sedang dibangun pemukiman sementara bagi korban Merapi. Pondasinya semen dan batu, temboknya anyam bambu, tiangnya bambu tua, atapnya seng. Belum semuanya rampung dibangun..baru sebagian.
Ke atas lagi kami mulai menemui pohon-pohon yang hangus dan mati..wilayah tandus..tapi bukan karena wedhus gembel, mungkin hanya debu panas. Wajah Merapi terlihat mulai garang. Ceruknya begitu jelas terlihat.
Dan, sampai juga kami di wilayah terparah akibat terjangan awan panas. Macet. Dan terjawab sudah heran saya. Mulai dari beberapa ratus meter sebelum tempat kami berhenti sekarang, para warga yg entah relawan atau bukan tetapi memakai baju relawan, mulai menarik karcis wisata, Rp 5000 per orang, belum termasuk parkir. Ternyata hilir mudik tadi bukan warga Merapi sesungguhnya, tetapi warga jogja dan daerah lain yang ingin berwisata..?? Nah, baru saya tahu paska diturunkanya status merapi, tempat angker ini jadi lokasi wisata. Heran. Padahal pengungsipun belum sepenuhhya kembali dari pengungsian, tapi wisatawan malah lebih dulu mengungsi ke daerah bencana.
Masyaa Allah. Apa yang ada dihadapan kami saat ini, membuat saya terusterang takjub sekaligus ngeri. Maha Besar Allah yang telah membelah merapi hingga kaki-kakinya yang kekar dengan begitu dahsyat. Tanah kering tandus disapu ribuan derajat celsius panas. Pohon ditempat saya berdiri hangus dan menjadi runcing runcing ujungnnya, pohon kelapa sekarang nampak seperti pohon kurma kelewat matang di terik matahari, plastik dan karet perabot meleleh, kusen jendela dan pintu hangus, rumah roboh seperti diterjang tsunami dan sepanjang mata memandang tanah hanya tandus, pohon rata tanah, batu, kerikil dan bau hangus yang masih bertahan. Ngarainya begitu dalam, hasil bentukan lahar dingin ke arah kali Code. Grand canyon, persis.
Wedhus gembel meluluh lantakkan semua kehidupan yang dilewatinya.
Namun, rupanya Allah selalu memberi hikmah disetiap kejadian yang menimpa hambanya. Tidak akan pernah Ia membebani suatu kaum melebihi apa yang mampu mereka pikul dipundak. Seperti yang terlihat saat ini, mereka memiliki mata pencaharian baru, berjualan ditempat wisata yang memungkinkan mereka berpenghasilan lebih dari sebelumnya. Salak Vulkanik sekarang menjadi tren baru di sini. Ada ada saja. Lahirlah para tentara-tentara langit (begitu mereka menyebut para penambang pasir liar) yang mengeruk berton-ton pasir sisa erupsi Merapi. Kantong mereka kini tebal. Truk-truk hilir mudik, kendaraan parkir melimpah ruah. Penjual tiket ada di setiap simpangan. Bantuan ke tenda pengungsian selalu datang dan pasokannya terjamin. Meski kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan normal, tetapi ada panorama baru di wilayah ini…ada musibah, dan Allah memberi lanjutan ayat kauniahNya dengan berkah melimpah. Seperti halnya lumpur di Porong, Sidoarjo, yang menjadi objek wisata setelah menjadi bencana. Selain itu, kelak, tanah tandus ini mungkin akan jauh lebih subur karena unsur hara telah Allah keluarkan dari perut bumi, begitu juga mineral. Maha Besar Allah.
Begi mereka yg tersapu awan panas, saya berbaik sangka, pasti karena Allah juga masih sayang pada mereka. Tak ingin hambaNya terus menerus berada dalam ke-syirikan dan dosa, alangkah indah jika Allah mengangkat ruh-ruh mereka. Ah, sekali lagi, saya hanya berbaik sangka.
Allah pula, yang dengan musibah ini, menciptkan ladang amal dan pahala bagi kita yang peduli. Menggerakkan elemen negara ini menjadi padu dan kompak, paling tidak untuk sebagian masalah. Dan Allah yang kemudian memberi peringatan pada kita untuk lebih mendekatkan diri pada Nya..
Jadwal kami hanya sampai pukul 11.00..dan kami ada pada pukul 11.30. Setengah jam lewat dari jadwal kami. Awan-awan mulai menggelayuti puncak puncak merapi. Angin makin kencang menghantam tubuh kami. Terlihat mendung mulai membayangi hawa sejuk yang menyeruaki punggung-punggung pasir yang kami injaki. Pertanda hujan hampir tiba. Saya teringat kata kepala dusun Plupuh saat berbincang di rumah beliau. Hujan selalu datang tiap hari kata beliau, dimulai tengah hari, dan sekarang mulai menjelang tengah hari. Kami pun bergegas menuruni lereng berdesak-desakan dengan pengunjung, mengambil perkakas dan motor yang kami bawa.. lalu kami pulang kembali menuju Posko relawan HTI di GOR Meguwoharjo..
***
Demikian perjalanan singkat saya hari minggu itu. Banyak ibrah yang membuat saya ingin segera kembali kesana. Saya berharap penerjunan minggu depan akan lebih banyak pelajaran yang Allah berikan pada kami. Amin….
00:30-03.45
20 Des 2010
kamar kos wonocatur…
-lutfi
|
'wisata' lokasi bencana - courtesy by google.co.id |